Minggu, 19 April 2020

Amunisi Literasi Indonesia Kocar-kacir

KARAWANG  ---  Tahun 2018, PISA (Programme for International Student Asessment) melakukan penelitian pada siswa SMP terkait minat literasi pada disuatu negara. Fakta mengejutkan muncul. Finlandia sebagai negara yang digadang-gadang mempunyai sistem pendidikan terbaik di dunia hanya menempati posisi 7 besar dengan skor 520. Cina berhasil menjadi garda pertama dengan melampaui skor yang telah ditetapkan oleh PISA. Dengan skor 555 Cina mampu melampaui USA dan Jepang. Data ini menjadi luka yang terus menerus membengkak bagi Indonesia jika tidak ada upaya untuk mengobati.  
            Mirisnya, skor Indonesia dalam rentang waktu 2000-2018 tidak menunjukan peningkatan yang signifikan. Survei terbaru menunjukan Indonesia diperingkat 72 dengan jumlah negara peserta 79. Nusantara masuk rangking 10 terbawah dengan skor 371. Minimnya melek literasi membuat PISA memberi simpulan bahwa siswa di Indonesia belum mampu diajak berpikir kritis dan analisis sebagai tuntutan perkembangan peradaban.
            Banyak faktor yang ada ketika luka ini terus membengkak salah satunya minimnya fasilitas penunjang kebutuhan literasi. Dalam hal ini, semua pihak harus terllibat. Mulai dari instansi terkait, komunitas penggiat literasi, dan lingkungan masyarakat sekitar agar tercipta kenyamanan dalam mengobati keterpurukaan ini. Pemerintah atau instansi terkait wajib mengoptimalkan perpustakaan yang ada. Salah satunya dapat memanfaatkan perkembangan teknologi yang ada yaitu dengan membuat e-perpustakaan. Hal ini efektif karena masyarakat sudah akrab dengan teknologi khususnya generasi milenial. Selain itu pemerintah juga harus memperbaiki prasarana yang ada. Dengan menambah dan memperbarui buku-buku bacaan di perpustakaan atau tempat penunjang lainnya. Sebagaian masyarakat enggan ke perpustakaan karena dianggap tidak menarik, masalah ini menjadi kekuatan agar dapat lebih baik lagi.
            Peran lain yang dapat dilakukan yaitu dengan menerapkan kegiatan wajib membaca di sekolah sebelum mata pelajaran dimulai. Kebijakan ini sudah mulai diterapkan tetapi dalam pelaksanaannya kurang efektif. Guru sebagai orang tua siswa di sekolah harus mempunyai kesadaran lebih. Dengan menggiring siswa agar minat kepada literasi. Minimal 15 menit sehari dengan agenda rutin, dapat membantu siswa agar menyukai kegiatan literasi dan hal tersebut akan  berdampak pada daya kritis anak.
            Diri sendiri sebagai alat pengontrol diri mempunyai andil yang sangat penting. Jika kedua langkah di atas sudah dilakukan tetapi dalam diri setiap individu belum ada kesadaran akan menjadi hal yang sia-sia. Indonesia tidak bisa menjadi maju jika setiap individu hanya bermimpi mengubah dunia tapi tidak pernah mengubah diri sendiri. Seperti sajak antonim yang penah ada. Berbunyi : ketika masih muda dan bebas berimajinasi. Saya bermimpi mengubah dunia. Seiring dengan bertambah usia saya mendapati dunia tidak berubah. Saya pun menyederhanakan keinginan saya dan memutuskan mengubah negeriku saja, tapi tampaknya tak ada yang berubah pada negeri. Usia pun kian senja, usaha terakhir saya adalah mengubah keluarga, orang terdekat, tapi lagi-lagi mereka tetap sama, tidak ada yang berubah. Dan sekarang saya menyadari bahwa yang seharusnya yang pertama kali saya lakukan adalah mengubah diri sendiri. Jika semua aspek tercapai dan saling bersinergi, bukan tidak mungkin Indonesia masuk 10 besar dalam peringkat dalam rentang waktu 10 tahun kedepan. Amunisi literasi Indonesia tidak akan kocar-kacir dan dapat menyembuhkan luka yang ada.

Penulis: Laura Magvira